Pertanyaan:
Jika subjek hukum melakukan tindak pidana korupsi tetapi hasil dari tindak pidana tersebut sudah dikembalikan sebelum adanya putusan pengadilan, apakah pertanggungjawaban pidananya dapat dihapuskan?
Terima kasih atas pertanyaannya!
Dalam menjawab pertanyaan ini, kami akan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta beberapa literatur lainnya.
Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban dalam tindak pidana merupakan pengenaan hukuman untuk pelaku atau seseorang yang melakukan suatu perbuatan dan karena perbuatan tersebut telah melanggar dan melawan hukum yang berlaku. Hal ini bersangkutan dengan tahap-tahap penegakan hukum yang melibatkan pengenaan hukuman terhadap suatu tindakan melawan hukum, yang baik dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaan, asalkan tindakan tersebut memenuhi indikator untuk dikenai pidana. Seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana ketika orang tersebut melanggar unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, seseorang akan diminta pertanggungjawabannya jika ia melakukan tindakan yang melawan hukum. Agar seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban, ia harus dianggap "mampu untuk bertanggung jawab" atau memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab. Selain itu, peraturan perundang-undangan telah menetapkan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pertanggungjawaban pidana, yaitu sebagai berikut:
Berkemampuan bertanggung jawab
Pertanggungjawaban pidana berhubungan dengan perkenaan pemidanaan petindak jika ia telah melakukan suatu tindakan melawan hukum yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Tercantum dalam peraturan perundang-undangan seseorang dikatakan mampu untuk bertanggung jawab bila ia memenuhi kondisi berikut:
Kondisi Kejiwaan: Tidak memiliki kelainan atau gangguan dikarenakan penyakit kejiwaan, baik itu secara berkala maupun sementara
Kapabilitas Kejiwaannya: Mampu mengetahui atau menyadari hakekat perbuatannya atas tindak pidana, serta dapat menentukan kehendaknya dalam tindakan
Kesalahan
Menurut Muljatno kesalahan merupakan keadaan seseorang ketika melakukan perbuatan yang melawan hukum dan merupakan suatu tindak pidana. masyarakat memiliki kemampuan untuk mencela, seperti kenapa seseorang dapat melakukan perbuatan tersebut disisi lain memiliki kemampuan atau mengetahui untuk lebih baik tidak melakukan tindakan yang akan membuat dia melawan hukum.
Tidak ada alasan pemaaf
Raden Ruslan mengemukakan bahwa alasan pemaaf merupakan salah satu bentuk dari kemampuan bertanggungjawab yang pada dasarnya bentuk dari kehendak kesengajaan atau kealpaan tetap tiada menghapus pertanggungjawabannya dalam kesalahan tersebut.
Alasan Penghapusan Pidana
Terdapat dua jenis alasan yang dapat menghapus pidana: alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar berarti tindakan terdakwa tidak lagi dianggap bersifat melawan hukum, sehingga tindakannya menjadi patut dan benar. Sebaliknya, alasan pemaaf berarti bahwa kesalahan terdakwa dihapus. Di dalam bukunya yang berjudul “Rethinking Criminal Law”, George P. Fletcher mengemukakan tiga teori mengenai penghapusan pidana.
Theory of Pointless Punishment
Bergantung pada teori kemanfaatan alasan pemaaf. Teori ini mengatakan bahwa menjatuhkan pidana pada orang gila atau sakit jiwa tidak ada gunanya.
Theory of Lesser Evils
Menjelaskan alasan penghapusan pidana yang berasal dari luar atau uitwendig pelaku. Dalam kasus ini, pelaku harus memilih salah satu dari dua perbuatan yang sama-sama menyimpang dari aturan, dan memilih perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan yang lebih ringan.
Theory of Necessary Defense
Teori ini berfokus pada empat hal utama. Pertama, penggunaan kekuatan yang diizinkan dalam situasi tertentu. Kedua, kewajiban untuk menghindari. Ketiga, hak pihak ketiga untuk campur tangan. Keempat, kemampuan melawan untuk menghindari serangan.
Alasan penghapusan pidana terdiri dari:
Tidak mampu bertanggungjawab
Daya paksa
Keadaan darurat
Pembelaan terpaksa
Pembelaan terpaksa melampaui batas
Melaksanakan perintah undang-undang
Perintah jabatan
Pengaruh Pengembalian Uang dalam Tindak Pidana Korupsi
Melanjuti pembahasan sebelumnya, pengembalian uang atau hasil dari tindak pidana korupsi oleh seseorang atau korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat menjadi alasan untuk membebaskan pelaku dari pidana, meskipun persidangan belum selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” Ketentuan ini menguatkan prinsip bahwa dalam delik formil pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan korupsi sudah dianggap selesai dan pelaku dapat dipidana begitu unsur-unsur pidana terpenuhi, tanpa memandang akibat yang timbul. Sementara itu, delik materiil pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa, meskipun pengembalian uang dapat meringankan hukuman, hal tersebut tidak menghapuskan tanggung jawab pidana pelaku.
Berikut adalah perbandingan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam bentuk tabel:
Aspek | Pasal 2 UU Tipikor | Pasal 3 UU Tipikor |
Subjek | Setiap orang | Setiap orang |
Perbuatan | Melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi | Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan |
Akibat | Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara | Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara |
Pidana Penjara | Seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun | Seumur hidup atau paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun |
Pidana Denda | Paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) | Paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) |
Paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) | Paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) |
Sementara itu, berikut adalah perbandingan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari sudut pandang delik formil dan materiil:
Aspek | Pasal 2 UU Tipikor | Pasal 3 UU Tipikor |
Jenis Delik | Delik formil | Delik materiil |
Definisi Delik | Delik dianggap selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang, tanpa perlu timbul akibat yang nyata. | Delik dianggap selesai dengan adanya akibat yang nyata dari perbuatan yang dilarang. |
Perbuatan | Melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi | Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan |
Pengaruh Pengembalian Uang | Pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapuskan pidana; pelaku tetap bisa dipidana karena perbuatan korupsi sudah terjadi. | Pengembalian uang hanya meringankan hukuman, bukan menghapus pidana. |
Akibat yang Ditimbulkan | Tidak diperlukan adanya akibat nyata yang merugikan negara; perbuatan saja sudah cukup untuk dipidana. | Harus ada akibat nyata yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara untuk dianggap selesai. |
Kesimpulan
Dengan demikian, walaupun pengembalian uang oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat menjadi alasan bagi hakim untuk meringankan hukuman, tetapi hal tersebut tetap saja tidak dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi, sehingga pertanggungjawaban pidananya tidak dapat dihapuskan. Proses hukum tetap berjalan sehingga pelaku korupsi tetap dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan unsur-unsur pidana korupsi yang telah terpenuhi. Pengembalian uang hasil korupsi hanya berfungsi sebagai faktor yang dapat meringankan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa efek jera tetap diberikan kepada pelaku korupsi, serta sebagai langkah preventif untuk mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks
Wahyuni Fitri, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama. 2017.
Mertha I Ketut, et.al. Buku Ajar Hukum Pidana, Denpasar: Universitas Udayana. 2016.
Artikel Jurnal
Fadlian, Aryo. “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Suatu Kerangka Teoritis.” Jurnal Hukum Positum 5, No. 2. (Desember 2020): 13.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jawaban dari pertanyaan anda ditulis oleh Kelvin Fransiskus Turnip dan Carlo Van Montoya Meliala dan telah dilakukan review oleh I Gusti Ayu Stefani Ratna Maharani, S.H., M.H.
Demikian jawaban atas hasil analisis kami, semoga bermanfaat.
Mohon diingat bahwasanya jawaban yang telah kami paparkan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat. Dalam hal jawaban ALSA Legal Assistance yang disampaikan, kami ALSA LC Unud tidak dapat dituntut, tidak dapat digugat atas segala pertanyaan, kesalahan, ketidakakuratan maupun kekurangan akan jawaban yang disampaikan. Selain itu, jawaban ALSA Legal Assistance ini juga tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Sekian dari kami, terimakasih.
wih, untung nggak bisa dilepas ya pertanggungjawaban pidananya 🤩